Oleh: Taufik Hidayat
Seorang guru salah satu sekolah di Sumenep Madura, sebut saja Pak “A” mengajar dari rumah ke rumah. Pengalaman
tersebut baru diketahui setelah beliau bercerita lewat facebook. Diketahui
bahwa para siswa tidak memiliki sarana yang mendukung untuk belajar di rumah selama masa pandemi
COVID-19, seperti tidak adanya smartphone atau laptop maupun kemampuan dana untuk membeli kuota internet.[1] Awal
April 2020, sekitar
300 orang tua siswa sekolah dasar di 18 kabupaten dan
kota di Prov. Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, dan
Jawa Timur telah diriset oleh Tim INOVASI (Inovasi untuk Anak Sekolah
Indonesia) untuk mengetahui implementasi kebijakan “Belajar dari Rumah”.
Hasilnya menunjukkan bahwa hanya sekitar 28% responden yang
menyatakan anak mereka belajar dengan menggunakan media daring dan tampak terjadi ketimpangan akses media pembelajaran antara keluarga
ekonomi mampu dengan yang kurang mampu.[2] Hal lain
disampaikan oleh Pak “HB” yang menjadi
tenaga sukarelawan pendidikan di tiga sekolah distrik Mandobo dan Iniyandit,
Kab. Boven Digoel pada Agustus 2015-Mei
2018. Setelah diamati, beliau menemukan tiga
persoalan pokok terkait Program Afirmasi (GGD dan SM3T), yakni
sekolah di kampung masih kekurangan bahkan tidak memiliki
tenaga pengajar, materi pelajaran yang sesuai standar kurikulum nasional ternyata belum mengedepankan hal-hal kearifan lokal, dan masih mengaplikasikan
pedagogi tradisional atau memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang netral.[3] Kejadian-kejadian tadi berada di
level sekolah.
Di level perguruan tinggi pun terdapat peristiwa dan
catatannya tersendiri. Pada 24 April 2019
puluhan mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri di
Surabaya
mengadakan aksi protes didalam Gedung Rektorat. Aksi protes tersebut terkait kebijakan Rektor setempat
tentang nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang
harus dibayarkan oleh calon mahasiswa baru yang diterima oleh perguraun tinggi tersebut.[4] Dilansir
dari BPS, data tahun 2017 menunjukkan Angka Partisipasi
Sekolah (APS) umur 16-18 tahun merosot ketika memasuki fase selanjutnya (19-24
tahun) atau fase anak/remaja yang
seharusnya mendapatkan akses ke Perguruan Tinggi, yakni
hanya 24,67% yang dapat menempuh pendidikan fase selanjutnya (perguruan
tinggi). Bahkan
dalam satu dekade sebelumnya, angka-angka ini relatif tidak jauh berbeda, saat tahun
2007 APS umur 19-24 tahun sekitar
12,20%. Kemudian hingga 2017 angkanya
berturut-turut
12,43%, 12,66%, 13,67%, 14,47%, 15,94%, 20,04%, 22,74%, 22,79% dan 23,80%.[5] Sehingga wajar bila di tahun sebelumnya yakni 2015,
Badan Pusat Statistik pernah merilis bahwa lebih
dari separuh tenaga kerja negara ini di dominasi lulusan sekolah dasar dan
menengah pertama. Sementara per tahun 2016, 54,6 juta pekerja
masih memegang ijazah sekolah dasar.[6]
Padahal, tercatat bahwa kurikulum pendidikan telah
berganti sebanyak 11 kali, mulai Rentjana
Pelajaran 1947, Rentjana
Pelajaran Terurai 1952, Rentjana
Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum
1975, Kurikulum 1984, Kurikulum
1994, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) 2004, KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2006, K-13, dan terakhir Kurikulum 2015.[7] Apakah
hanya persoalan-persoalan diatas yang kita temui dalam dunia pendidikan? Apakah
hal-hal itu akar masalah pendidikan kita, yakni soal fasilitas serta dana dan
taraf pendidikan? Atau justru itu hanya persoalan permukaan? Lantas, apa
sebetulnya akar masalah pendidikan kita?
Mari kita ingat kembali pasal 31 ayat 3
UUD 1945 bahwa “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang.”.[8] Berikutnya,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
menyebutkan: “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[9] Bila tujuan didudukkan untuk mengidentifikasi akar persoalan
pendidikan, maka sudahkah pendidikan kita mencapai tujuannya?
Beberapa kata kunci didalam tujuan pendidikan nasional,
yakni iman, takwa, dan akhlak mulia tentu terkandung pada konsep pendidikan
didalam Islam. Konsepnya tak sama dengan pendidikan karakter Barat yang
memiliki beberapa masalah diantaranya tidak ada kesepakatan dari
konseptor dan programmer pendidikan karakter tentang nilai-nilai karakter apa
yang bisa diterima bersama, ketika
harus menentukan tujuan pendidikan karakter terjadi konflik kepentingan antara
kepentingan agama dan kepentingan ideology, konsep
karakter masih ambigu karena masih merupakan campuran antara kepribadian (personality)
dan perilaku (behaviour), dan karakter dalam perspektif Islam hanyalah
bagian kecil dari akhlaq.[10] Juga tak sama dengan konsep pendidikan multikultural Barat yang
mengajarkan untuk menghargai keragaman namun
mengandung problem dekonstruksi konsep Tauhid, pluralisme agama, relativisme kebenaran, antiotoritas
penafsiran, dan humanisme sekuler, sehingga tidak
membentuk manusia yang bertakwa kepada Allah SWT.[11] Bukan pula pendidikan gender yang berasas pada feminisme yang tak
memandang institusi keluarga sebagai tempat pendidikan bagi anak-anak. Padahal dengan terjalinnya
komunikasi yang harmonis antara suami dan istri atau diamalkannya konsep keluarga dalam Islam dimana
al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. menjadi
pedoman dan sumber inspirasi utama, maka konsep hidup
dan kehidupan akan dijalankan dengan sebaik-baiknya.[12]
Sudah banyak gagasan dari para ulama dan bukti kesuksesan
bila mengimplementasikan konsep pendidikan dalam Islam dengan sungguh-sungguh.
Sejarah mencatat pemikiran Ibn Jauzi tentang pendidikan jiwa, konsep ilmu dan
pendidikan oleh Imam al-Ghazali, pendidikan akhlak menurut Syekh al-Zarnuji,
pandangan Buya Hamka tentang pendidikan, pendidikan mental-spiritual oleh
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, pendidikan menurut Ibn Khaldun, perjuangan
Rahmah el-Yunusiyyah dalam pendidikan, konsep pendidikan menurut Syed Muhammad
Naquib al-Attas, konsep pendidikan dalam pemikiran al-Kawakibi, Nyai Dahlan
yang mempelopori pendidikan perempuan Jawa, perjuangan pendidikan yang
dilakukan oleh Jamiat Khair, nasihat pendidikan dari A. Hassan, konsep
pendidikan menurut M. Natsir, gagasan pendidikan oleh A. Kahar Muzakkir,
perjuangan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan,
konsep pendidikan menurut Ibn Sina, metode dan pendekatan pendidikan oleh Said
Nursi, kondep pendidikan dari Ibn Qayyim, pendidikan ajaran Ki Hajar Dewantara,
dan masih banyak lagi.
Mari pelajari kembali dan pahami lagi wejangan-wejangan
dari figur-figur terbaik seperti yang disebutkan diatas, terutama sekali pesan
dari Rasullah SAW. dalam merancang, menjalankan, mengevaluasi, dan membenahi
sikon pendidikan kita. Bukankah ini tugas bersama? Menimbang pentingnya
pendidikan untuk pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara kita. Wallaahu
a’lamu bisshowaab.
Referensi:
[1] Kunjungi https://www.suara.com/yoursay/2020/04/21/131312/potret-pendidikan-indonesia-di-tengah-pandemi-corona
[2] Kunjungi https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534
[3] Kunjungi https://transisi.org/pendidikan-yang-membebaskan-untuk-papua/
[5] Kunjungi https://transisi.org/masa-depan-pendidikan-kapitalisme/
[6] Kunjungi https://indoprogress.com/2017/11/otokritik-untuk-pendidikan-dan-diri-sendiri/
[7] Kunjungi https://www.idntimes.com/life/education/dewa-putu-ardita/fakta-potret-pendidikan-indonesia/5
[8] Kunjungi https://insists.id/epistemologi-pendidikan-pancasila/
[9] Kunjungi https://insists.id/konsep-dan-sistem-pendidikan-islam-2/
[10] Kunjungi https://insists.id/pendidikan-karakter/
[11] Kunjungi https://inpasonline.com/problem-teologis-pendidikan-multikultural/
[12] Kunjungi https://inpasonline.com/kritik-terhadap-institusi-keluarga-prespektif-feminisme/
Tentang Penulis
Taufik Hidayat lahir di Cirebon pada 23 Juni 1996. Ia merupakan seorang laki-laki yang saat ini berdomisili di Blok Ciluwung RT 003 RW 005, Desa Kedungbunder, Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, kode pos 45161. Saat ini, muslim yang masih lajang ini menjalani peran ganda sebagai mahasiswa sekaligus guru. Ia kini aktif berjejaring melalui berbagai akun media sosial, antara lain Facebook dengan nama Taufik Hidayat, Instagram dengan akun @fik.dayat.72, LinkedIn atas nama Taufik Hidayat, serta Medium dengan akun fik.dayat.72. Untuk keperluan silaturrahmi Taufik Hidayat dapat dihubungi melalui nomor WhatsApp di +62 821-1528-9672.
0 komentar:
Posting Komentar