Ahmad Nasri
Dalam sirah nabawiyah dikisahkan
bahwa pada masa sebelum kenabian pernah dilakukan pemugaran kembali Ka’bah.
Setelah renovasi Ka’bah selesai dan sampai pada peletakan Hajar Aswad,
orang-orang Quraisy berselisih tentang siapa yang berhak meletakkannya. Semua
kabilah ingin untuk meletakkan kembali Hajar Aswad di tempat semula karena
berharap akan mendapatkan kemuliaan darinya. Hal ini terjadi hingga hampir
terjadi pertikaian di antara mereka dan kondisi menegangkan pun berlangsung
hingga beberapa hari.
Pada saat krusial tersebut Abu
Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi, salah satu tokoh tertua mereka mendapatkan
ilham dan mengatakan bahwa yang paling berhak meletakkan Hajar Aswad adalah
orang yang pertama kali masuk Masjidil Haram. Mereka menerima tawaran itu dan
menunggu siapa yang pertama kali masuk masjid. Atas ijin Allah SWT ternyata
yang masuk masjid pertama kali adalah Muhammad SAW. Setelah melihat, mereka
berkata, “Ini adalah orang yang terpercaya, kami setuju.”
Setelah mereka menceritakan apa
yang terjadi kepada Muhammad SAW, beliau pun membentangkan kain surbannya lalu
mengambil Hajar Aswad dan meletakkan di atasnya, kemudian beliau meminta kepada
setiap pemimpin kabilah agar memegang setiap ujung kain dan mengangkat Hajar
Aswad ke tempatnya. Setelah itu Muhammad SAW meletakkannya di tempat semula.
Dengan demikian terhindarlah pertumpahan darah antara sesama orang-orang
Quraisy.
Kisah di atas terjadi tentu
karena kecerdasan yang dimiliki oleh Muhammad SAW dalam menghadapi persoalan.
Sejak belum diangkat sebagai Nabi dan Rasul, banyak peristiwa sulit yang dapat
diselesaikan dengan hasil maksimal karena sifat cerdas yang diberikan Allah SWT
kepada beliau. Selain cerdas (fathanah), Rasulullah SAW juga dikaruniai empat
sifat lain oleh Allah SWT, yaitu siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya) dan
tabligh (komunikatif). Empat sifat nabawi ini hendaknya juga dimiliki dan
menjadi teladan bagi setiap pemimpin dalam jenjang apapun, lebih-lebih bagi
orang-orang yang diberikan amanah oleh rakyat sebagai pemimpin di negeri ini.
Menjadi pemimpin bukanlah perkara
mudah, beban berat menanti dirinya. Apalagi dalam kondisi sulit karena berbagai
persoalan yang melilit negeri ini tak putus-putusnya. Korupsi, kemiskinan,
kesenjangan sosial dan ekonomi, hukum yang tebang pilih, tidak meratanya
pembangunan, kualitas pendidikan, sulitnya lapangan kerja, kejahatan, bahkan
tindakan makar, terorisme dan disintegrasi yang juga mengancam negeri ini.
Semua itu merupakan deretan masalah yang harus segera diatasi di negeri ini.
Karenanya dibutuhkan pemimipin yang cerdas untuk menyelesaikan persoalan rakyat
tersebut agar terwujud masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
Di antara hikmah yang bisa kita
ambil dari kisah Rasulullah SAW dalam menyelesaikan perselisihan kaum Quraisy
saat akan meletakkan Hajar Aswad tersebut adalah bahwa Rasulullah SAW adalah
orang yang menjunjung tinggi persatuan. Beliau tidak mengunggulkan satu kabilah
dan meninggalkan kabilah yang lain. Bahkan beliau tidak egois dengan mengambil
kesempatan untuk dirinya sendiri agar bisa meletakkan Hajar Aswad. Tetapi
dengan kecerdasan yang diberikan Allah SWT, beliau dapat merangkul semua
kabilah dan mendamaikan mereka. Tidak ada salah satu yang lebih diuntungkan dan
tidak ada pula pihak lain yang dirugikan.
Seorang pemimpin cerdas memang
harus bisa merangkul semua golongan. Di negeri muslim majemuk yang ada banyak
pemahaman seperti Indonesia misalkan, tidak bisa seorang pemimpin hanya
merangkul satu golongan saja dan meninggalkan golongan yang lain. Menganggap
satu kelompok masyarakat sebagai teroris hanya karena membawa bendera tauhid,
tapi membiarkan kelompok lain di tempat lain yang dengan terang-terangan berlaku
dan berteriak makar, mengibarkan bendera lain, membakar merah putih. Sangat
disayangkan juga jika sang pemimpin itu justru menyerukan untuk memaafkan.
Pemimpin harus memiliki kelebihan
yang banyak dari rakyat yang dipimpinnya, termasuk dalam hal kecerdasan.
Seorang pemimpin mutlak harus memiliki sifat cerdas karena dia yang akan
dilihat dan diteladani rakyat dalam segala hal. Mulai dari keputusannya, tutur
katanya, sifat-sifatnya, bahkan penampilannya. Kecerdasan pemimpin juga akan
berpengaruh terhadap keadaan rakyat yang dipimpinnya. Karena ia tahu cara-cara
terbaik yang akan dilakukan dalam setiap persoalan negerinya sebelum mengambil
tindakan untuk menyelesaikannya.
Seorang pemimpin yang cerdas,
akan selalu tegas dan adil dalam membuat keputusan. Ia selalu berpikir untuk
kepentingan semua pihak dan tidak sekedar menyenangkan hati sekelompok orang
tertentu dengan keputusannya. Karena setiap apa yang dia putuskan pasti
berdasarkan ilmu yang dia miliki. Pemimpin cerdas tidak asal membuat keputusan
dan tidak asal bertindak. Tapi dia akan mempelajari setiap hal secara detail
dan rinci agar setiap tindakkan dan keputusannya tidak menciptakan
kesalahpahaman.
Pemimpin yang cerdas adalah
pemimpin yang berpikir secara logis, kritis dan sistimatis. Hal inilah yang
menunjukkan identitas dirinya sebagai orang yang berbeda dengan kebanyakan
manusia sehingga dirinya layak menjadi seorang pemimpin. Kalaupun dia kurang
memiliki ilmu dalam hal tertentu, seorang pemimpin yang cerdas akan bisa
memanajemen dengan baik para bawahannya sehingga bisa membantunya menyelesaikan
suatu masalah. Ia akan berpikir cerdas dan bertindak cerdas.
Seorang pemimpin yang cerdas
tidak akan dipermalukan oleh bawahannya sendiri karena tidak tegas dan
tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Ia akan dengan mudah ‘dibantah’ oleh
bawahannya saat salah dalam mengambil keputusan. Seperti halnya seorang
presiden di negeri antah berantah yang sering salah dan tergesa-gesa dalam
mengambil keputusan. Seringkali, mungkin karena kurangnya kecerdasan yang dia
miliki, beberapa saat setelah dia mengumumkan suatu hal langsung dibantah oleh
bawahannya. Dan nyatanya pernyataan bawahannya yang terbukti kebenarannya. Ini
menunjukkan bahwa pemimpin tersebut sangat lemah kecerdasan dan pengaruh
kepemimpinannya.
Lihatlah dalam beberapa forum dan
wawancara internasional, seorang pemimpin ‘negeri seberang’ juga sering tampak
memalukan karena kurangnya kecerdasan yang dia miliki. Pernah dalam sebuah
wawancara, sang pemimpin justru sibuk dengan kertas yang dipegangnya, membolak-balikkan
kertas seperti grogi saat diwawancara, padahal pewawancara malah tidak terlihat
memegang kertas. Tentu orang yang menjadi rakyatnya akan malu melihat hal
tersebut. Kalaupun tidak bisa semua bahasa asing, seorang pemimpin yang cerdas
tidak akan malu menggunakan penerjemah. Daripada harus terlihat tak lancar
dalam berkomunikasi dalam bahasa asing.
Seorang pemimpin cerdas juga akan
senantiasa mengasah dan menambah ketajaman pengetahuannya jika menang dia
merasa ada yang kurang dari dalam dirinya. Membaca dan berdiskusi adalah salah
satu cara yang bisa dilakukannya. Tidak selayaknya bagi seorang pemimpin saat
ditanya apa buku yang dibacanya, dengan bangga menjawab bahwa buku-buku
koleksinya adalah buku-buku kartun komik yang tidak ada korelasinya dengan
permasalahan negara. Karena pemimipin yang cerdas harus selalu menambah
kapasitas dan kapabilitas dirinya sehingga mampu mengemban amanah berat ini.
Dan yang tidak kalah penting,
pemimpin cerdas akan selalu meningkatkan nilai-nilai spiritual (ruhiyah) dalam
dirinya. Karena kecerdasan adalah salah satu sifat Nabawi, maka seorang
pemimpin nawabi juga akan mengejewantahkan nilai-nilai agama dan kenabian dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menjalankan kepemimpinannya. Seorang
pemimpin cerdas harus rajin mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berusaha
meninggalkan apa yang tidak dibenarkan oleh-Nya dan Rasul-Nya. Seorang pemimpin
yang cerdas akan menjadikan dirinya sebagai seorang yang religius dan
menganggap bahwa kepemimpinan yang diembannya tersebut adalah amanah suci dari
Allah SWT, sehingga dia tidak akan pernah menyia-nyiakannya.
Untuk meningkatkan kecerdasan
spiritual ini, pemimpin harus mendekat kepada ulama dan tokoh-tokoh agama. Dia
harus bersungguh-sungguh dalam meningkatkan iman dan takwa sebagai bekal dalam
melaksanakan amanah kepemimpinan. Indonesia merupakan negara dengan penduduk
mayoritas muslim, maka sudah menjadi keniscayaan bagi seorang pemimpin agar
selalu menjadikan para ulama dari berbagai kalangan sebagai penasihatnya.
Seorang pemimpin yang cerdas secara spiritual akan senantiasa saling menasihati
satu sama lain dalam kebenaran dan kesabaran.
Dikisahkan pada masa Amirul
Mukminin Umar bin Khatab RA sungai Nil pernah kering, air tidak mengalir.
Sebelum pemerintah Islam menguasai Mesir, upaya penduduk Mesir agar sungai Nil
kembali mengalir adalah dengan membuang gadis perawan sebagai tumbal. Saat itu,
gubernur Mesir dijabat oleh Amr bin Ash RA. Para penduduk Mesir menjumpai Amr
RA dan mengeluhkan masalah yang mereka hadapi. Amr RA pun mengirim surat kepada
Umar RA mengenai kondisi di Mesir. Dan Umar RA pun membalas surat Amr RA.
“Aku mengirim kepadamu sebuah
surat di dalam suratku ini, maka lemparkanlah surat itu ke dalam sungai Nil.”
Lalu Amr RA mengambil sebuah surat yang tertulis di dalamnya, “Dari hamba
Allah, Umar Amirul Mukminin kepada sungai Nil-nya penduduk Mesir. Amma ba’du.
Jika engkau mengalir seperti sebelumnya dan atas urusanmu, maka janganlah
mengalir, karena kami tidak butuh denganmu. Dan jika kamu mengalir karena perintah
Allah yang Maha Esa dan Maha Memaksa, Dialah yang mampu mengalirkanmu, maka
kami memohon kepada Allah Ta’ala agar mengalirkanmu.” Amr RA pun melemparkan
surat Umar RA itu ke dalam sungai Nil. Dan di malam harinya Allah SWT kembali
mengalirkan sungai Nil dan memutus masa paceklik penduduk Mesir.
Semoga kita dikarunai pemimpin
yang cerdas dalam segala hal, sehingga dapat berperan sebagaimana mestinya
untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melanda negeri ini. Pemimpin cerdas
yang selalu dalam bimbingan Allah SWT. Wallahul Musta’an.
0 komentar:
Posting Komentar