728x90 AdSpace

Latest News
Rabu, 16 Oktober 2019

Pemimpin Cerdas Berjiwa Nabawi



Ahmad Nasri

Dalam sirah nabawiyah dikisahkan bahwa pada masa sebelum kenabian pernah dilakukan pemugaran kembali Ka’bah. Setelah renovasi Ka’bah selesai dan sampai pada peletakan Hajar Aswad, orang-orang Quraisy berselisih tentang siapa yang berhak meletakkannya. Semua kabilah ingin untuk meletakkan kembali Hajar Aswad di tempat semula karena berharap akan mendapatkan kemuliaan darinya. Hal ini terjadi hingga hampir terjadi pertikaian di antara mereka dan kondisi menegangkan pun berlangsung hingga beberapa hari.

Pada saat krusial tersebut Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi, salah satu tokoh tertua mereka mendapatkan ilham dan mengatakan bahwa yang paling berhak meletakkan Hajar Aswad adalah orang yang pertama kali masuk Masjidil Haram. Mereka menerima tawaran itu dan menunggu siapa yang pertama kali masuk masjid. Atas ijin Allah SWT ternyata yang masuk masjid pertama kali adalah Muhammad SAW. Setelah melihat, mereka berkata, “Ini adalah orang yang terpercaya, kami setuju.”

Setelah mereka menceritakan apa yang terjadi kepada Muhammad SAW, beliau pun membentangkan kain surbannya lalu mengambil Hajar Aswad dan meletakkan di atasnya, kemudian beliau meminta kepada setiap pemimpin kabilah agar memegang setiap ujung kain dan mengangkat Hajar Aswad ke tempatnya. Setelah itu Muhammad SAW meletakkannya di tempat semula. Dengan demikian terhindarlah pertumpahan darah antara sesama orang-orang Quraisy.

Kisah di atas terjadi tentu karena kecerdasan yang dimiliki oleh Muhammad SAW dalam menghadapi persoalan. Sejak belum diangkat sebagai Nabi dan Rasul, banyak peristiwa sulit yang dapat diselesaikan dengan hasil maksimal karena sifat cerdas yang diberikan Allah SWT kepada beliau. Selain cerdas (fathanah), Rasulullah SAW juga dikaruniai empat sifat lain oleh Allah SWT, yaitu siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya) dan tabligh (komunikatif). Empat sifat nabawi ini hendaknya juga dimiliki dan menjadi teladan bagi setiap pemimpin dalam jenjang apapun, lebih-lebih bagi orang-orang yang diberikan amanah oleh rakyat sebagai pemimpin di negeri ini.

Menjadi pemimpin bukanlah perkara mudah, beban berat menanti dirinya. Apalagi dalam kondisi sulit karena berbagai persoalan yang melilit negeri ini tak putus-putusnya. Korupsi, kemiskinan, kesenjangan sosial dan ekonomi, hukum yang tebang pilih, tidak meratanya pembangunan, kualitas pendidikan, sulitnya lapangan kerja, kejahatan, bahkan tindakan makar, terorisme dan disintegrasi yang juga mengancam negeri ini. Semua itu merupakan deretan masalah yang harus segera diatasi di negeri ini. Karenanya dibutuhkan pemimipin yang cerdas untuk menyelesaikan persoalan rakyat tersebut agar terwujud masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.

Di antara hikmah yang bisa kita ambil dari kisah Rasulullah SAW dalam menyelesaikan perselisihan kaum Quraisy saat akan meletakkan Hajar Aswad tersebut adalah bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang menjunjung tinggi persatuan. Beliau tidak mengunggulkan satu kabilah dan meninggalkan kabilah yang lain. Bahkan beliau tidak egois dengan mengambil kesempatan untuk dirinya sendiri agar bisa meletakkan Hajar Aswad. Tetapi dengan kecerdasan yang diberikan Allah SWT, beliau dapat merangkul semua kabilah dan mendamaikan mereka. Tidak ada salah satu yang lebih diuntungkan dan tidak ada pula pihak lain yang dirugikan.

Seorang pemimpin cerdas memang harus bisa merangkul semua golongan. Di negeri muslim majemuk yang ada banyak pemahaman seperti Indonesia misalkan, tidak bisa seorang pemimpin hanya merangkul satu golongan saja dan meninggalkan golongan yang lain. Menganggap satu kelompok masyarakat sebagai teroris hanya karena membawa bendera tauhid, tapi membiarkan kelompok lain di tempat lain yang dengan terang-terangan berlaku dan berteriak makar, mengibarkan bendera lain, membakar merah putih. Sangat disayangkan juga jika sang pemimpin itu justru menyerukan untuk memaafkan.

Pemimpin harus memiliki kelebihan yang banyak dari rakyat yang dipimpinnya, termasuk dalam hal kecerdasan. Seorang pemimpin mutlak harus memiliki sifat cerdas karena dia yang akan dilihat dan diteladani rakyat dalam segala hal. Mulai dari keputusannya, tutur katanya, sifat-sifatnya, bahkan penampilannya. Kecerdasan pemimpin juga akan berpengaruh terhadap keadaan rakyat yang dipimpinnya. Karena ia tahu cara-cara terbaik yang akan dilakukan dalam setiap persoalan negerinya sebelum mengambil tindakan untuk menyelesaikannya.

Seorang pemimpin yang cerdas, akan selalu tegas dan adil dalam membuat keputusan. Ia selalu berpikir untuk kepentingan semua pihak dan tidak sekedar menyenangkan hati sekelompok orang tertentu dengan keputusannya. Karena setiap apa yang dia putuskan pasti berdasarkan ilmu yang dia miliki. Pemimpin cerdas tidak asal membuat keputusan dan tidak asal bertindak. Tapi dia akan mempelajari setiap hal secara detail dan rinci agar setiap tindakkan dan keputusannya tidak menciptakan kesalahpahaman.

Pemimpin yang cerdas adalah pemimpin yang berpikir secara logis, kritis dan sistimatis. Hal inilah yang menunjukkan identitas dirinya sebagai orang yang berbeda dengan kebanyakan manusia sehingga dirinya layak menjadi seorang pemimpin. Kalaupun dia kurang memiliki ilmu dalam hal tertentu, seorang pemimpin yang cerdas akan bisa memanajemen dengan baik para bawahannya sehingga bisa membantunya menyelesaikan suatu masalah. Ia akan berpikir cerdas dan bertindak cerdas.

Seorang pemimpin yang cerdas tidak akan dipermalukan oleh bawahannya sendiri karena tidak tegas dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Ia akan dengan mudah ‘dibantah’ oleh bawahannya saat salah dalam mengambil keputusan. Seperti halnya seorang presiden di negeri antah berantah yang sering salah dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Seringkali, mungkin karena kurangnya kecerdasan yang dia miliki, beberapa saat setelah dia mengumumkan suatu hal langsung dibantah oleh bawahannya. Dan nyatanya pernyataan bawahannya yang terbukti kebenarannya. Ini menunjukkan bahwa pemimpin tersebut sangat lemah kecerdasan dan pengaruh kepemimpinannya.

Lihatlah dalam beberapa forum dan wawancara internasional, seorang pemimpin ‘negeri seberang’ juga sering tampak memalukan karena kurangnya kecerdasan yang dia miliki. Pernah dalam sebuah wawancara, sang pemimpin justru sibuk dengan kertas yang dipegangnya, membolak-balikkan kertas seperti grogi saat diwawancara, padahal pewawancara malah tidak terlihat memegang kertas. Tentu orang yang menjadi rakyatnya akan malu melihat hal tersebut. Kalaupun tidak bisa semua bahasa asing, seorang pemimpin yang cerdas tidak akan malu menggunakan penerjemah. Daripada harus terlihat tak lancar dalam berkomunikasi dalam bahasa asing.

Seorang pemimpin cerdas juga akan senantiasa mengasah dan menambah ketajaman pengetahuannya jika menang dia merasa ada yang kurang dari dalam dirinya. Membaca dan berdiskusi adalah salah satu cara yang bisa dilakukannya. Tidak selayaknya bagi seorang pemimpin saat ditanya apa buku yang dibacanya, dengan bangga menjawab bahwa buku-buku koleksinya adalah buku-buku kartun komik yang tidak ada korelasinya dengan permasalahan negara. Karena pemimipin yang cerdas harus selalu menambah kapasitas dan kapabilitas dirinya sehingga mampu mengemban amanah berat ini.

Dan yang tidak kalah penting, pemimpin cerdas akan selalu meningkatkan nilai-nilai spiritual (ruhiyah) dalam dirinya. Karena kecerdasan adalah salah satu sifat Nabawi, maka seorang pemimpin nawabi juga akan mengejewantahkan nilai-nilai agama dan kenabian dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menjalankan kepemimpinannya. Seorang pemimpin cerdas harus rajin mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berusaha meninggalkan apa yang tidak dibenarkan oleh-Nya dan Rasul-Nya. Seorang pemimpin yang cerdas akan menjadikan dirinya sebagai seorang yang religius dan menganggap bahwa kepemimpinan yang diembannya tersebut adalah amanah suci dari Allah SWT, sehingga dia tidak akan pernah menyia-nyiakannya.

Untuk meningkatkan kecerdasan spiritual ini, pemimpin harus mendekat kepada ulama dan tokoh-tokoh agama. Dia harus bersungguh-sungguh dalam meningkatkan iman dan takwa sebagai bekal dalam melaksanakan amanah kepemimpinan. Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim, maka sudah menjadi keniscayaan bagi seorang pemimpin agar selalu menjadikan para ulama dari berbagai kalangan sebagai penasihatnya. Seorang pemimpin yang cerdas secara spiritual akan senantiasa saling menasihati satu sama lain dalam kebenaran dan kesabaran.

Dikisahkan pada masa Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA sungai Nil pernah kering, air tidak mengalir. Sebelum pemerintah Islam menguasai Mesir, upaya penduduk Mesir agar sungai Nil kembali mengalir adalah dengan membuang gadis perawan sebagai tumbal. Saat itu, gubernur Mesir dijabat oleh Amr bin Ash RA. Para penduduk Mesir menjumpai Amr RA dan mengeluhkan masalah yang mereka hadapi. Amr RA pun mengirim surat kepada Umar RA mengenai kondisi di Mesir. Dan Umar RA pun membalas surat Amr RA.

“Aku mengirim kepadamu sebuah surat di dalam suratku ini, maka lemparkanlah surat itu ke dalam sungai Nil.” Lalu Amr RA mengambil sebuah surat yang tertulis di dalamnya, “Dari hamba Allah, Umar Amirul Mukminin kepada sungai Nil-nya penduduk Mesir. Amma ba’du. Jika engkau mengalir seperti sebelumnya dan atas urusanmu, maka janganlah mengalir, karena kami tidak butuh denganmu. Dan jika kamu mengalir karena perintah Allah yang Maha Esa dan Maha Memaksa, Dialah yang mampu mengalirkanmu, maka kami memohon kepada Allah Ta’ala agar mengalirkanmu.” Amr RA pun melemparkan surat Umar RA itu ke dalam sungai Nil. Dan di malam harinya Allah SWT kembali mengalirkan sungai Nil dan memutus masa paceklik penduduk Mesir.

Semoga kita dikarunai pemimpin yang cerdas dalam segala hal, sehingga dapat berperan sebagaimana mestinya untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melanda negeri ini. Pemimpin cerdas yang selalu dalam bimbingan Allah SWT. Wallahul Musta’an.

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Pemimpin Cerdas Berjiwa Nabawi Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu