728x90 AdSpace

Latest News
Rabu, 07 November 2018

Psy-War di Tahun Politik


Oleh: Mustofa B. Nahrawardaya
Anggota Majelis Pustaka & Informasi PP Muhammadiyah

Siap-siaplah berkelahi dengan berita bohong. Kira-kira itulah kalimat yang perlu saya tulis di awal paragraf ini.

Alkisah Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman kekuasaan Hitler.  Suatu saat pendukung utama Hitler ini memerintahkan kepada pasukannya agar terus menerus, berulang-ulang menyebarkan kebohongan.

Politikus Jerman ini yakin, kebohongan yang terus menerus diucapkan, ditulis, dan diteriakkan kepada publik, pada akhirnya akan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Akibat dari kerja sistematis inilah, dunia kemudian mengenal adanya istilah genocide (pemusnahan massal) yang dilakukan terhadap Yahudi, oleh pasukan Nazi.

Hitler melalui Nazi berhasil mempengaruhi dunia, untuk mengusir, bahkan membantai Yahudi dimanapun mereka berada. Di kemudian hari, teknik pembohongan publik yang dilakukan Goebbels ini dikenal sebagai teknik “argentums ad nausem” atau teknik “big lie” yang menyebabkan pria kelahiran 29 Oktober 1897 itu kemudian dijuluki Bapak Kebohongan Dunia.

Sebelum mengakhiri hidupnya, Goebbels bersama isterinya, Magda, pada 1 Mei 1945 terlebih dahulu meracuni keenam anaknya menggunakan pil sianida. Dengan alibi tidak ingin keenam anaknya hidup di lingkungan Nazi, Goebbels bersama isterinya itu meminumi obat tidur kepada anak-anaknya, sebelum keduanya bunuh diri dan meminta para pengawalnya untuk membakar semua jenasah diri mereka beserta keluarganya. Akibat propaganda kebohongan terus menerus Jozef Goebbels itulah, menghasilkan sejarah panjang penjajahan Yahudi terhadap Palestina. Dunia menjadi serba salah untuk mendamaikan konflik kemanusiaan di Palestina, antara membiarkan Yahudi bercokol di bumi Palestina dengan sejuta kisah memilukan di sana, atau mengusir Yahudi dari area konflik, yang mana alternatif terakhir ini tidak mungkin untuk dilakukan.

Barangkali, mencontohkan sejarah Jozef Goebbels sebagai otak psy-war masa lalu tidaklah salah. Setidaknya, Jozef berhasil memicu sebuah peperangan, yang ternyata aksi saling bunuh antar manusia tidak harus dengan menggunakan alat perang canggih atau peralatan serba besar. Cukup dengan menebar kebohongan, menebar fitnah, dan menebar kebencian kepada publik terhadap sesuatu, maka mesin perang modern pun akan otomatis bekerja. Alat-alat berat pembunuh manusia, begitu saja bekerja mencabut nyawa manusia dan mengusir hati nurani insan manusia tanpa peduli ajaran agama.

Kini, lebih dari 70 tahun setelah Jozef mati, praktek psy-war makin menjadi-jadi. Varian nya pun, semakin banyak dan korbannya semakin tidak terbendung. Hampir setiap hari, korban dari praktek psy-war selalu ada. Setidaknya, kita dapat menyaksikannya betapa mudah masyarakat mempercayai sebuah informasi yang tidak jelas darimana sumbernya. Oleh karena itu, banyak pengguna media sosial, yang tidak faham prropaganda model ini, terjebak oleh permainan psy-war pihak tertentu sehingga ada saja yang karena kekhilafannya, mereka harus rela masuk penjara.

Fenomena ini, tampaknya tidak akan berubah, apalagi tahun depan ada hajatan nasional bernama Pemilu. Pelaksanaan Pemilihan Umum yang masih beberapa bulan lagi, telah menyebabkan pihak tertentu yang tidak ingin dirugikan karena kekuasaan yang hilang, tampaknya akan terus menggunakan situasi yang ada, sebagai kesempatan untuk kembali berperang menggunakan teknik psy-war. Persoalan yang selama ini muncul adalah, perang urat syarat selalu saja dijejali dengan aksi tipu-tipu informasi pada pihak lawan. Akibat aksi tipu-tipu dan kebohongan publik inilah, kita kemudian tidak bisa menikmati Pemilu yang elegan.

Tahun 2014, ketika Pemilu digelar, fenomena serupa sudah terjadi. Ribuan orang dikirimi paket majalah, buku dan tabloid yang dalam semua produk media itu, berisi berita dan dokumen miring yang terkait dengan Capres Prabowo-Hatta. Bagi yang faham, tentu tidak kaget menerima kiriman paket gratis entah dari siapa pengirimnya. Tiba-tiba, paket sudah ada di depan pintu. Anehnya, setelah Pemilu usai dan Prabowo kalah, salahsatu Pimred Tabloid (yang mana Tabloid itu ikut dikirim ke rumah-rumah), belakangan malah mendapatkan jabatan Komisaris di sebuah BUMN.

Sebuah kelompok Cyber yang pada tahun 2012 ikut mengantarkan kemenangaan salahsatu peserta Pilkada DKI, juga diduga telah menggunakan teknik-teknik psy-war negatif,  belakangan ternyata malah mendapatkan ‘hadiah’ sebagai Komisaris BUMN dan BUMD. Dengan kenyataan itu, menyebabkan munculnya dugaan bahwa teknik psy-war dalam pemilihan Kepala Daerah maupun Pemilihan Umum, seolah menjadi sebuah kelaziman dan kebutuhan pihak tertentu, karena hal itu terbukti dapat mengantarkan pada kemenangan dan bagi otak dan pelakunya, dan bahkan akan mendapatkan reward berbentuk kursi jabatan.

Ketika Pilkada 2017 di DKI, tampaknya teknik psy-war tidak banyak membantu. Salahsatu penyebabnya, banyak kubu dari setiap pasangan calon, telah mempelajari teknik tersebut. Akibatnya, setiap pasangan telah memainkan peran dengan saling ‘berkelahi’ menggunakan teknik psy-war. Belajar dari fenomena 2012, 2014 dan 2017, maka Pilkada serentak 2018 tampak sekali perubahan signifikan. Partai Politik yang semula dominan memenangkan Pilkada, kini terpaksa gigit jari karena harus menerima kenyataan bahwa jagonya harus bertumbangan di banyak wilayah seluruh Indonesia. Meski demikian, karena teknik ini bukan hal baru, kuat dugaan perang model ini akan terus dilanjutkan dengan sekian banyak varian baru.

Data Asosiasi Penyedia Jasa Internet (APJII) tahun 2017 setidaknya memberikan gambaran. Bahwa, wahana dunia internet yang tidak pernah turun quantity usernya, menyebabkan banyak pihak akan terus menggunakan wahana maya itu untuk terus bermain menggunakan wilayah tak terbatas. Jika tahun 2012 pengguna internet di Indonesia hanya 63 jutaan, tetapi pada tahun 2014 sudah ‘meroket’ sedemikian rupa hingga nencapai 88,1 juta hanya dalam waktu dua tahun. Bahkan, tahun 2017, atau hanya 3 tahun setelahnya, pengguna internet sudah mencapai 143 jutaan jumlahnya.

Dari data APJII itulah, para pemain psy-war kuat dugaan tidak akan menyia-nyiakan peluang tersebut. Apalagi, APJII juga menemukan fakta baru bahwa user internet terbesar di Indonesia memang pada rentang usia 19-34 tahun. Artinya, dari 143 jutaan user internet di tanah air, kebanyakan penggunanya adalah generasi milenial. Dimana, masa seumuran itu, masih mudah dipengaruhi.

Lebih spesifik lagi, hobi para user internet yang diteliti APJII ternyata memang 89,35% nya adalah penikmat layanan chatting dan 87,13% dari seluruh user internet kenyataannya adalah menggunakan media sosial sebagai gaya hidupnya. Dengan kondisi itulah, mau tidak mau semua pihak yang terlibat dalam pesta demokrasi 2018, jelas tidak akan tinggal diam.

Maka, siap-siaplah berkelahi dengan banyak berita bohong dan mungkin juga berita abu-abu. Akan banyak upaya pencampuran antara haq dan yang bathil dalam rangka mencapai tujuan politik.

Alhamdulillah Allah telah mengingatkan dan melarang kita mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil. Dan, bahkan kita dilarang menutupi kebenaran jika kita mengetahui itu sebuah kebenaran. Hal itu telah tertuang dalam QS Al Baqarah: 42. Dan, dengan situasi carut marut akhir zaman ini, tentu kita harus menang menghadapi apapun bentuk kebathilan. Karena Al Qur’an sudah memastikan bahwa yang haq pasti akan menang, dan yang bathil pasti akan lenyap, seperti yang termaktu  dalam QS Al Isra’:81.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Psy-War di Tahun Politik Rating: 5 Reviewed By: Admin 2 TablighMu