Oleh: M Ilham Kadir
Wasekjen Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Sulsel
Pada umat-umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam diutus sebagai rasul pamungkas, Allah selalu mengutus para nabi atau rasul yang memimpin mereka. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh yang lainnya, sebagaimana firman Allah:
ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَىٰ ۖ كُلَّ مَا جَاءَ أُمَّةً رَسُولُهَا كَذَّبُوهُ ۚ فَأَتْبَعْنَا بَعْضَهُمْ بَعْضًا وَجَعَلْنَاهُمْ أَحَادِيثَ ۚ فَبُعْدًا لِقَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ
“Kemudian kami utus kepada umat-umat itu rasul-rasul Kami secara berturut-turut. Tiap-tiap seorang rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya, maka Kami perikutkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Dan Kami jadikan mereka buah tutur (manusia), maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-Mu’min: 44)
Kata ‘tatra‘ pada ayat di atas bermakna, mutatabi’ah atau berturut-turut. Jadi, setiap seorang Nabi meninggal, maka ia akan digantikan oleh nabi lainnya untuk mengajak manusia kepada agama Allah, menjelaskan yang lurus dan yang sesat, serta mengeluarkan menusia dari kegelapan kekufuran menuju terangnya cahaya iman (minaz zhulumati ilan-nur).
Saat Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam sebagai penutup para nabi dan rasul, tidak akan ada lagi nabi-nabi yang akan diutus pasca wafatnya. Maka Allah menjadikan para ulama sebagai pengganti para nabi dan rasul untuk melanjutkan estafet dakwah nabi akhir zaman itu. Yaitu menyebarkan kebaikan, memberi tuntunan pada umat, kabar gembira, memberi peringatan, hingga terjun mencegah segala bentuk kemungkaran dan kemaksiatan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, “Ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, namun mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (H.R. Tirmidzi, no. 2682)
Ulama bertugas mengajak manusia kepada agama Allah, memberikan pengetahuan pada umat, dan menyebarkan kebaikan yang dibawa oleh Nabi. Dengan demikian, para ulama menempati posisi dan menggantikan tugas nabi di tengah umat. Ulama di tengah umat laksana para nabi di tengah Bani Israil, dalam posisinya sebagai penyampai dakwah kepada umat manusia, membina, mengajar, dan menjadi suri teladan bagi masyarakat luas.
Begitulah para ulama yang datang silih berganti untuk umat dari generasi ke generasi. Dengan kehadiran mereka hingga ilmu masih ada, sebaliknya dengan kepergian mereka, ilmu ikut pergi. Inilah yang dimaksud dengan Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, “Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari manusia tapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan para ulama. Hingga bila tidak tersisa lagi seorang ulama pun, maka manusia akan memilih para pemimpin jahil, maka mereka memberi fatwa dengan tanpa dasar ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (H.R. Bukhari, no. 100)
Keberadaan ulama di tengah umat adalah amanah, dan sebuah jaminan akan terjaganya ajaran Islam yang benar, tanpa kehadiran ulama juga menjadi garansi akan merebaknya kesesatan dan naiknya pemimpin formal dan kultural yang jahil dan rela menjual agama, mengeluarkan fatwa yang sesat lagi menyesatkan. Maka Allah menjamin bahwa selalu ada ulama yang menjadi penerang umat, penuntun ke jalan benar hingga kiamat datang. Sabda Nabi, “Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tampil melawan kebenaran, mereka tidak merasa dirugikan dengan orang-orang yang menelantarkan mereka, hingga datang ketetapan Allah berupa kiamat sedang mereka tetap dalam keadaan demikian.” (Muttafaq ‘alaihi dari hadits Tsauban Radhiyallahu 'Anhu).
Maka para ulama akan tetap eksis hingga sangkakala tutup dunia ditiup Malaikat Israfil. Di lain pihak, ilmu akan terus-menerus mengalami penyusutan, kejahilan merajalela dan kepalsuan, dusta, kebatilan dipoles sehingga terlihat seperti kebenaran.
Banyak pembaca dan penghafal Al-Qur’an namun banyak yang tidak paham dan melanggar tuntunan wahyu. Dalam situasi chaos (kacau) seperti ini, ulama harus tampil menjadi solusi problematika umat. Dan bila umat sudah kembali pada ulama, maka inilah sebuah pertanda kebaikan dan eksistensi ulama sebagai pewaris para nabi.
Fenomena Gafatar
Beberapa hari terakhir ini, Indonesia kembali digemparkan dengan ulah salah satu kelompok aliran sesat bernama Gafatar, singkatan dari “Gerakan Fajar Nusantara” yang dulu bernama “Al-Qiyadah Al-Islamiyah”. Karena nama yang terkahir ini sudah diblacklist oleh MUI dan Pemerintah, mereka pun berubah nama menjadi Gafatar, ajaran, manhaj, akidahnya pun sama. Bahkan, nabi mereka tetap Mushaddeq yang kini masih dikerangkeng. Namun, ulah Gafatar terlihat lebih konyol dan vulgar sebab mereka mengajak anggotanya seluruh Indonesia untuk melakukan eksodus ke Kalimantan, ini tak jauh beda dengan An-Nadzir yang ada di Samata Gowa, mereka seakan-akan mendirikan negara dalam negara.
Saya setuju apa yang disampaikan Sekretaris MUI Jabar Rafani Achyar sebagaimana dikutif Tribun Pontianak (13/1/2016) bahwa, Gafatar adalah reinkarnasi Al-Qiyadah Al-Islamiyah walau baju yang dipakai gerakan sosial karena itu menarik. Setelah masyarakat sudah sering berkomunikasi dan dibentuk komunitas, paham dan doktrin sesat mereka masuk.
Untunglah kita memiliki lembaga keulamaan yang berhak menentukan dan merumuskan jenis ajaran yang menyimpang, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI). Setidaknya ada sepuluh kriteria yang ditetapkan oleh MUI.
Pertama, mengingkari rukun iman dan rukun Islam. Kedua, meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar’i (Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw). Ketiga, meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an. Keempat, mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Quran. Kelima, melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah tafsir.
Keenam, mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai sumber ajaran Islam. Ketujuh, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul. Kedelapan, mengingkari Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul terakhir. Kesembilan, mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah. Kesepuluh, mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i.
Melihat kriteria aliran sesat yang ditetapkan MUI Pusat tersebut, maka saya melihat Gafatar adalah aliran sesat yang sangat sempurna, hampir semua kriteria masuk di dalamnya. Melanggar poin kedelapan saja, dengan meyakini ada nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, maka secara total keislaman seseorang akan rontok alias batal.
Dengan berpatokan oleh rumusan kriteria aliran sesat di atas, maka tidak susah mendiagnosa ajaran sesat yang diamalkan oleh golongan mana pun, termasuk dapat dijadikan sebagai alat untuk membendung dan meringkus penganut aliran Gafatar. Wallahu A’lam!
Sumber: Hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar