PASANGAN SUAMI ISTRI DI SURGA
DAN HUKUM MEMBACA AL-QUR’AN KETIKA HAIDL
Penanya:
Wakidjo Az., NBM. 494.220
Agen SM No. 025, Metro Lampung Tengah
Pertanyaan:
1. Sepasang suami istri, salah satunya (suami atau istri) telah meninggal dunia terlebih dahulu, apakah di akhirat nanti dapat bertemu kembali? Bagaimana kalau yang ditinggal menikah lagi?
2. Bolehkah orang yang berhadas besar (misalnya wanita yang sedang haid) membaca al-Qur’an, sebab dalam surat al-Waqi‘ah ayat 79 disebutkan laa yamassuhu illal-muthahharuun?
Jawaban:
Soal pertama, tentang suami istri yang salah seorangnya meninggal lebih dahulu, apakah di akhirat nanti dapat hidup sebagai suami istri? Bagaimana kalau yang ditinggal (suami atau istri) menikah lagi?
Dari beberapa ayat al-Qur’an dan al-Hadits dapat difahami bahwa jika salah seorang suami atau istri meninggal dunia, terjadilah perceraian, sehingga istri yang ditinggal boleh kawin lagi dengan laki-laki lain bila telah habis masa iddahnya. Demikian pula suami dapat kawin dengan wanita lain. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ. [البقرة: 234].
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber‘iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” [QS. al-Baqarah (2): 234].
Dalam pada itu, pada doa shalat jenazah dibaca doa yang di antara isinya agar yang meninggal dunia memperoleh ganti keluarga yang lebih baik dari keluarga yang ditinggalkannya dan seterusnya. Termasuk dalam pengertian keluarga ialah suami yang lebih baik dari suami yang ditinggalkannya. Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ عَوْفَ بْنِ مَالِكٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَنَازَةٍ فَحَفِظْتُ مِنْ دُعَائِهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ. [رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata:, Rasulullah saw pernah menshalatkan jenazah dan aku menghafal di antara doa yang diucapkannya (artinya): Wahai Tuhan, ampunilah dia, beri rahmatlah dia, maafkanlah kesalahannya, muliakanlah kedatangannya, lapangkanlah tempatnya, mandikanlah ia dengan air, dengan salju, dan dengan air yang dingin, bersihkanlah kesalahannya seperti dibersihkannya pakaian putih dari kotoran, dan gantilah tempat tinggalnya dengan yang lebih baik dari tempat tinggalnya di dunia, dan keluarga yang lebih baik dari keluarga yang ditinggalkannya di dunia, dan pasangan yang lebih baik dari pasangan yang ditinggalkannya di dunia, masukkanlah dia ke dalam surga, dan peliharalah dia dari fitnah kubur dan adzab neraka.” [HR. Muslim].
Dari ayat dan hadits di atas dapat difahami bahwa apabila salah seorang suami atau istri meninggal dunia, terjadilah perceraian antara keduanya, dan yang meninggal didoakan akan memperoleh pasangan yang lebih baik dari pasangan yang ditinggalkannya, sehingga ia hidup di dalam surga dengan penuh kenikmatan.
Pada ayat yang lain Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ. [الطور: 21].
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” [QS. ath-Thur (52): 21].
Dari ayat ini dapat difahami bahwa jika seorang mukmin yang shalih kemudian keimanan dan keshalihannya itu diikuti pula oleh anak cucu, maka Allah akan mengumpulkan mereka pada suatu tempat di surga dan Allah akan mencukupkan pahala dan kenikmatan pada anak cucu mereka sebagaimana pahala dan kenikmatan yang diberikan kepada orang tua mereka, dan Allah tidak akan menguranginya sedikitpun. Ayat ini memberikan kemungkinan bahwa suatu keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak beserta cucu dan buyut dapat berkumpul hidup dalam surga nanti, asal semuanya beriman dan beramal shalih.
Dari ayat-ayat dan hadits di atas dapat difahami bahwa jodoh dan pasangan bagi ahli surga itu dapat saja istrinya atau suaminya semasa hidup di dunia, dapat pula pasangan yang lain yang diperuntukkan oleh Allah SWT bagi mereka. Yang penting mereka hidup dalampenuh kenikmatan.
Terhadap pertanyaan saudara tentang kehidupan sepasang suami-istri di akhirat nanti, sebenarnya Allah SWT telah memberi isyarat pada ayat 21 surat ath-Thur di atas, bahwa mereka dapat berkumpul kembali di surga nanti apabila mereka benar-benar beriman kepada Allah SWT dan beramal shalih. Terhadap kelurga yang seperti ini tentu Allah SWT akan mengabulkan doa-doanya. Namun yang penting bagi mereka ialah bahwa Allah SWT akan menempatkan mereka dalam tempat yang penuh kenikmatan. Allah SWT berfirman:
إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ. هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلاَلٍ عَلَى اْلأَرَائِكِ مُتَّكِئُونَ. [يس: 21].
Artinya: “Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). Mereka dan pasangan-pasangan mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.” [QS. Yasin (36): 55-56].
Soal kedua, tentang hukum membaca al-Qur’an bagi orang yang berhadas besar (misalnya wanita yang sedang haid). Bagaimana hubungannya dengan firman Allah: laa yamassuhu illal-muthahharuun?
Pertanyaan seperti di atas pernah diajukan dan telah dijawab, serta dapat dibaca pada buku Tanya Jawab Agama Jilid II Cet. VI hal. 34-35. Pada kesimpulan penjelasan yang dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama tersebut dinyatakan bahwa larangan membaca al-Qur’an bagi orang yang berhadas besar hanyalah berdasarkan etis dan kepatutan serta sebagai tanda memuliakan dan menghormati Kalamullah, karena tidak ditemukan hadits yang dapat dijadikan hujjah yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Bahkan ada hadits shahih yang mengisyaratkan bahwa orang yang berhadas besar boleh membaca al-Qur’an.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ. [رواه مسلم وأبو داود والترمذى].
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata: Adalah Nabi saw menyebut nama Allah dalam segala hal.” [HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Turmudzi].
Dari hadits di atas dapat difahami bahwa orang yang berhadas besar boleh berzikir menyebut nama Allah. Membaca al-Qur’an dapat disamakan dengan menyebut nama Allah.
Mengenai ayat laa yamassuhu illal-muthahharuun (al-Waqi‘ah ayat 79) menurut riwayat diturunkan di Makkah, sebelum Nabi saw hijrah ke Madinah. Sedang mushaf al-Qur’an baru ada pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, yang berarti adanya mushaf al-Qur’an setelah lebih kurang 30 tahun setelah ayat tersebut diturunkan. Pada masa Khalifah Utsman baru ada lima mushaf dan itupun belum beredar ke tengah masyarakat. Mushaf al-Qur’an baru dicetak dan mulai beredar ke tengah masyarakat lebih kurang 900 tahun kemudian. Karena itu, ayat di atas tidak ada kaitannya dengan mushaf al-Qur’an.
Dari pendapat para mufassir dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-muthahharuun, ialah orang yang suci yang benar-benar beriman kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Orang-orang inilah yang dapat menyentuh isi dan kandungan al-Qur’an. Sedangkan orang yang tidak suci tidak akan dapat menyentuh kandungan dan isi al-Qur’an. Orang-orang suci yang dimaksud mungkin malaikat, dan mungkin manusia, dan mungkin pula kedua-duanya.
Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam berpendapat, yang paling baik bagi orang yang hendak membaca al-Qur’an adalah ia dalam keadaan suci dari hadas dan najis, serta berwudlu terlebih dahulu. Karena yang akan kita baca bukan sembarang kitab, melainkan wahyu Allah yang menjadi petunjuk hidup bagi manusia. Pendapat ini sesuai pula dengan pendapat Ibnul Qayyim. *km)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar