728x90 AdSpace

Latest News
Rabu, 23 Desember 2015

Belajar Toleransi dari KH. Ahmad Dahlan


H. Fathurrahman Kamal, Lc, M.S.I
Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Baik secara konsep maupun aplikasi dalam sejarah, Islam mengajarkan toleransi yang luhur atas dasar tanggungjawab di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al-Quran mengajarkan: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tak kan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 256). Demikian pula FirmanNya, "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (QS. Al-An'am: 108)
Prinsip-prinsip keadilan dan apresiasi yang tinggi terhadap fakta pluralitas masyarakat telah menjadikan masyarakat profetik Madinah tampil melampaui zamannya yang sarat dengan tribalisme Arab. Terhadap hak-hak non muslim dzimmi, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa menzalimi non muslim yang terikat perjanjian dengan Islam, menghinakannya, membebaninya di luar batas kemampuannya, atau mengambil hartanya tanpa kerelaannya maka, akulah lawannya pada hari kiamat kelak." (HR. Abu Dawud). Pada bagian lain, "Barangsiapa membunuh sesorang dari ahli dzimmah, ia takkan mendapatkan wangi surga, padahal wanginya bisa didapatkan dari jarak perjalanan selama tujuhpuluh tahun." (HR. Nasa'i).
Sikap toleran dan ketegasan dalam prinsip-prinsip Islam pernah ditunjukkan oleh KH. Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah yang kini memasuki usianya ke-102 tahun. Afiliasi dan keberpihakannya kepada Islam sangatlah jelas. Dalam konteks hubungan antar agama dan umat beragama beliau bukanlah pengusung faham pluralisme ataupun sekularisme. Bahkan menurut Alwi Shihab, Muhammadiyah didirikan justeru sebagai respon terhadap praktek keagamaan yang menyimpang, gerakan Kristenisasi dan gerakan Freemason yang mengusung slogan kebebasan dengan jargonnya: liberty, egality dan fraternity. (Alwi Shihab:1998).
Tidak dinafikan, KH. Ahmad Dahlan merupakan sosok yang berpikiran maju, terbuka dan toleran. Hal tersebut membuat Dokter Soetomo, seorang elite priyayi Jawa dan salah seorang pemimpin Budi Utomo kepincut dengan Muhammadiyah dan bersedia menjadi advisor Hooft Bestuur Muhammadiyah masa itu. Beliau juga sering berdialog pemuka agama Kristen. Diantaranya ialah; Pastur van Lith, Pastur van Driesse dan Domine Bekker. Keterbukaan beliau memang luar biasa, namun perlu dicatat secara adil sikap tegas KH. Ahmad Dahlan dalam beraqidah.
Dalam dialognya bersama KH. Ahmad Dahlan, Domine Bekker selalu berbelit-belit dan tidak mau mengakui kekalahannya dan akhirnya pendiri Muhammadiyah ini mengajukan tantangan kepada pemuka Kristen untuk keluar dari agama masing-masing lalu mencari dan menyelidiki agama masing-masing. Demikian pula dialog terbuka Kyai Dahlan dengan seorang pemuka gereja, Dr. Lamberton yang akhirnya berujar, "Maaf, saya tetap berpegang kepada agama yang dipeluk oleh nenek moyang saya, karena ini menjadi kewajiban saya. (Yusron Asrofi:Kyai Ahmad Dahlan: Pemikiran & Kepemimpinannya, 2005).
Pada 1969, tokoh Muhammadiyah KH. Ahmad Azhar Basyir, M.A menyampaikan kuliah tentang Muhammadiyah di Akademi Kateketik Katolik Yogyakarta. Secara tulus Kyai Azhar Basyir menyampaikan ucapan terima kasih, bahkan merasa mendapat kehormatan dengan undangan dari Institusi Katolik tersebut. Ketika itu, Kyai Azhar Basyir menyampaikan ceramah dengan judul: "Mengapa Muhammadiyah Muhammadiyah berjuang menegakkan tauhid yang murni?".
Kata Sang Kyai, "Karena Muhammadiyah yakin benar-benar, dan ini adalah keyakinan seluruh umat Islam, bahwa tauhid yang murni adalah ajaran Allah sendiri. Segala ajaran jang bertendensi menanamkan kepercayaan "Tuhan berbilang" bertentangan dengan ajaran Allah. Dan oleh karena keyakinan "Tuhan berbilang" itu menyinggung keesaan Tuhan jang mutlak, maka keyakinan "Tuhan berbilang" itu benar-benar dimurkai Allah. Tauhid murni mengajarkan keesaan Tuhan secara mutlak. Kepercayaan bahwa sesuatu atau seseorang selain Allah mempunjai sifat ke-Tuhanan, disebut "syirik". Syirik adalah perbuatan dosa terbesar yang tidak diampuni Allah."
Sikap toleran, keterbukaan dan keteguhan iman KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Ahmad Azhar Basyir terbaca di atas seharusnya menjadi referensi keteladanan yang otentik dalam merumuskan sikap toleransi antar umat beragama di Indonesia, terkhusus Pimpinan dan warga Persyarikatan Muhammadiyah. Segala hal yang potensial meruntuhkan bangunan aqidah dan iman seorang muslim mesti disikapi secara tegas, adil dan beradab. Ketegasan sikap secara beradab dalam menjaga akidah umat Islam, tidak perlu dirisaukan. Apalagi disalahpahami sebagai sikap ekslusif yang akan melahirkan radikalisme keagamaan.
Tentang ucapan "Selamat hari Natal" dan hukum mengikuti Perayaan Natal Bersama, umpamanya, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menerbitkan fatwa yang persis sama dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Di antara kandungan Fatwa tersebut ialah: "Umat Islam diperbolehkan untuk bekerjasama dan bergaul dengan umat-umat agama-agama dalam masalah-masalah keduniaan serta tidak boleh mencampuradukkan agama dengan aqidah dan peribadatan agama lain seperti meyakini Tuhan lebih dari satu, Tuhan mempunyai anak dan Isa Al-Masih itu anaknya. Orang yang meyakininya dinyatakan kafir dan musyrik. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan. Dalam konteks ini, perayaan Natal di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkara-perkara akidah tersebut di atas. Karenanya, mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Demikian pula mengucapkan Selamat Natal merupakan bagian langsung dari perkara syubuhat yang dianjurkan untuk tidak dilakukan.(Fatwa-Fatwa Tarjih, Cetakan VI, 2003, hal. 209-210).
Di antara keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang termuat dalam Berita Resmi Muhammadiyah, No 01/2010-2015 Syawwal 1431/September 2010, hal. 238 dinyatakan sebagai berikut: "Muhammadiyah menerima pluralitas agama tetapi menolak pluralisme yang mengarah pada sinkretisme, sintesisme, dan relativisme. Karena itu, umat Islam diajak untuk memahami kemajemukan agama dan keberagamaan dengan mengembangkan tradisi toleransi dan koeksistensi (hidup berdampingan secara damai). Dengan tetap meyakini kebenaran agamanya masing-masing, setiap individu bangsa hendaknya menghindari segala bentuk pemaksaan kehendak, ancaman dan penyiaran agama yang menimbulkan konflik antar pemeluk agama. Pemerintah diharapkan memelihara dan meningkatkan kehidupan beragama yang sehat untuk memperkuat kemajemukan dan persatuan bangsa."
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, Pedoman Hidup Islami (PHI) bagi warga Muhammadiyah menuntunkan bahwa, Islam mengajarkan agar setiap muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan baik dengan sesama muslim maupun dengan non-muslim, dalam hubungan ketetanggaan. Dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan untuk bersikap baik dan adil, mereka berhak memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai tetangga, memberi makanan yang halal dan boleh pula menerima makanan dari mereka berupa makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai dengan prinsi-prinsip yang diajarkan Agama Islam. Wallahu a'lam bil-shawab.

*) Dimuat dalam Jurnal Pemikiran Islamia Republika Kamis, 15 Desember 2011/19 Muharam 1433 H
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Belajar Toleransi dari KH. Ahmad Dahlan Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu