Oleh: Fahmi Salim, M.A
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
Sekertaris Komisi Dakwah MUI Pusat
Belum lama ini, Koran Republika, hari Ahad 8 November 2015 hal. 18 di rubrik Islam Digest, mengangkat kembali soal Taqrib (penyatuan) antara Sunni dan Syiah dengan judul "Sunni dan Syiah Bersatu, Mungkinkah?"
Sebenarnya, ide ini adalah gagasan usang yang terus diulang-ulang. Di bawah ini adalah empat hal yang membuktikan gagasan itu sangat usang dan penulisnya tidak melihat perkembangan terbaru.
Pertama, tulisan itu hanya mengulang lagu lama Dr. Quraish Shihab, cuma sedikit diupgrade menggunakan buku terbitan Libanon karya Prof. Dr. Musthafa ar-Rifa’i lewat kitab bertajuk Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-Syi’ah, sebab kalau mengacu ke buku Quraish Shihab maka para pembaca sudah paham gagasan yang sesungguhnya basi.
Apalagi tim penulis Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur sudah pernah membantahnya secara ilmiah dengan judul, "Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)".
Kesalahan kedua, tulisan itu memposisikan Imam Ja’far Shadiq sebagai tokoh Syiah dan juga Imam Zaid bin Ali, padahal keduanya adalah imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Untuk lebih jauh membuktikan ke-sunnian Imam Ja’far dan jauhnya akidah beliau dari klaim Syiah silakan baca buku biografi Imam Ja’far yang ditulis oleh sarjana ahli tafsir jebolan Universitas al-Azhar, Dr. Muchlis M Hanafi yang diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati.
Ketiga, informasi yang tidak update, bahwa lembaga taqrib di Al-Azhar sudah lama non-aktif karena banyak ditentang oleh para ulama besar Al-Azhar sendiri, seperti Syeikh Muhammad Arafah (anggota Hai’ah Kibar Ulama Azhar), Syeikh Hasanain Makhluf (mantan Mufti Agung Mesir), Syeikh Gad elHaq Ali Gad elHaq, mantan Grand Syeikh al-Azhar, Dr. Abdul Mun’im Annimr (mantan Wakil Grand Syeikh al-Azhar dan Menteri Wakaf Mesir), serta Syeikh Athiyyah Shaqr (Ketua Komisi Fatwa al-Azhar), dll. Karena terbukti terkuak taqiyahnya Al-Qummi dan tak sesuai harapan karena Abdul Husain al-Musawi salah satu penggerak motor taqrib ternyata menerbitkan Kitab al-Muraja’at yang isinya surat menyurat fiktif dia dengan yang diklaim sebagai Syeikh al-Azhar yaitu Fadhilatu Syeikh Salim al-Bisyri, sehingga Syeikh Gad elHaq memerintahkan ulama Azhar untuk mentahqiq dan membantah buku fiktif tersebut.
Syeikh Prof. Dr. Yusuf Qardhawi yang hendak menghidupkan lembaga taqrib itu pun pada akhirnya menyerah tidak mau lagi berdialog dengan kaum Syiah karena 3 permintaannya kepada mereka untuk mengakui status kesempurnaan Quran, tidak mencaci sahabat Nabi, mencegah penyebaran Syiah di negeri-negeri Sunni atau sebaliknya, tidak diindahkan bahkan kerap dilanggar oleh Syiah dengan dalih taqrib untuk menyebarkan paham Syiah di tengah masyarakat Sunni. (Lebih jauh baca Kitab Fatawa Muashirah jilid 4, hal. 251 dst).
Dalam Kitab Fatawa itu, Syeikh Qardhawi menyatakan, “Perbedaan yang sebenarnya antara Madzhab Ahlus Sunnah dengan Syiah Imamiyah adalah dalam ushul (dalam masalah pokok) bukan dalam furu’ (masalah cabang).
Oleh karena itu pernyataan paling jelas bagi perbedaan ini ialah perbedaan dua firqah aqidah, Ahlus Sunnah dan Syiah Imamiyah, bukan antara dua madzhab fiqih.” (hal. 254)
Keempat, sampai hari ini sejak diwacanakan pengajaran fikih Ja’fari Syiah di Al-Azhar tahun 60-an tidak pernah terwujud karena juga banyak ditentang para ulama guru besar Syariah di Al-Azhar.
Yang terealisir adalah proyek Mausu’ah Fiqih 8 Madzhab di masa orde Presiden Gamal Abd Nasser. Selebihnya tidak pernah diajarkan fiqih Syiah baik Ja’fari dan Zaidi di lingkungan al-Azhar. Sebab Al-Azhar hanya mengakui keabsahan 4 Madzhab Ahlus Sunnah saja yang berhak diikuti.
Ini bisa dibuktikan oleh banyak alumni al-Azhar yang sejak awal masuk mendaftar harus mengisi pilihan madzhab fiqih apa yang hendak diajarkan, dan tak pernah dijumpai pilihan madzhab Ja’fari dan Zaidi di formulir pendaftaran kuliah Al-Azhar. Wallahu waliyyu attaufiq.
Sumber: Hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar