728x90 AdSpace

Latest News
Minggu, 27 September 2015

Seni Nahi Munkar yang Terabaikan



Alkisah ada seorang lelaki Majusi yang masuk Islam pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far Al Manshur. Setelah masuk Islam ia mengatakan kepada Khalifah Al Manshur, “Sesungguhnya aroma badan orang-orang yang thawaf disekitar Ka’bah mengganggu sebagian yang lain. Kalau saja diletakkan bakaran kemenyan atau dupa, lalu angin datang meniupnya, tentu orang-orang akan mencium aroma yang wangi.”
Sang Khalifah menyetujui usulan yang nampaknya bagus tersebut. Dilaksanakanlah usulan tersebut, dengan dipasangnya bakaran kemenyan diatas Ka’bah. Padahal perbuatan tersebut menyerupai ritual ibadah orang Majusi; mengelilingi api. Berita ini sampai ketelinga seorang ulama yang bijaksana, Yazid bin Naqasy. Lalu beliau bersegera mengumumkan untuk melaksanakan haji. Khalifah Al Manshur mendengar berita tersebut. Al Manshur berkata, “Kita akan berangkat bersama dia (Yazid) agar bisa belajar darinya.”. Mereka pun berjanji untuk bisa bertemu di Tan’im (tempat Yazid menyampaikan pelajaran).
Semua orang telah berkumpul untuk mengikuti pengajian Yazid, termasuk Al Mansur didalamnya. Yazid berkata kepada salahseorang muridnya, “Jika nanti aku membuka majelis dan mengucapkan amma ba’du, tolong segera interupsi (tentang persoalan terkait, red). Aku akan memuji Khalifah bahwa dia telah melakukan ini dan itu, hingga perbuatannya meletakkan bakaran kemenyan di atas Ka’bah.”
Benar saja, setelah skenario ini dijalankan. Ketika muridnya mempertanyakan kebijakan Khalifah, Yazid berkata memuji Khalifah, “Diamlah kamu! Apakah kamu merasa lebih paham dari Amirul Mu’minin? Amirul Mu’minin itu lebih pandai dari kita. Ia lebih tahu tentang Kitabullah. Bagaimana mungkin kamu menuduh Amirul Mu’minin berdusta melakukan sesuatu yang diperbuat oleh orang-orang Majusi yang thawaf mengelilingi api?
Yazid masih terus memuji Khalifah dan menjawab pertanyaan, hingga Khalifah Al Manshur berbisik kepada anak buahnya, “Cepat pergi. Turunkan semua bakaran kemenyan dan matikan semua api.”
***

Kisah diatas adalah kisah tentang bagaimana seni menegur kesalahan dan akhlak untuk memperlakukan manusia dengan baik. Kita juga mungkin pernah mendengar kisah tentang bagaimana Hasan dan Husein kecil yang berdebat tentang wudlu didekat seorang yang sudah cukup berumur. Dari perdebatan sandiwara yang mereka lakukan maka tersadarlah orangtua tersebut tentang kesalahannya dalam berwudlu.
Ini seni meluruskan tanpa harus mematahkan, mengingatkan tanpa harus menggurui dan inilah cara yang sudah mulai dilupakan oleh para da’i yang ber-amar ma’ruf nahi munkar.
Jika kemungkaran dianggap sebagai penyakit sosial, harusnya para da’i mampu memosisikan dirinya sebagai dokter. Seorang dokter tidak mungkin dapat mengetahui penyakit masyarakat kecuali dia telah berilmu terlebih dahulu. Ilmu tentang penyakit harus disertai pula dengan ilmu tentang manusiadan akhlaq terhadap pasien. Sehingga ketika berhadapan dengan pasien yang terjangkit penyakit tersebut, ia memperlakukannya dengan kasing sayang, kesabaran dan kelembutan. Tentu saja hal ini juga membutuhkan diagnosa yang tepat.  Berikut ini akan dijabarkan beberapa poin penting dari ilustrasi diatas.
Berilmu dan Wara’
Seorang da’i hendaklah memiliki pengetahuan mengenai apa yang dilakukannya dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Karena dengannya ia mengetahui mana saja yang termasuk perkara ma’ruf, dan mana saja yang termasuk perkara munkar. Amar Ma’ruf Nahi Munkar juga membutuhkan ilmu, karena ilmu adalah bagian dari sulthan (kekuatan). Syaikh Ibnu Taimiyah menyamakan ilmu (bahkan melebihkannya) dari kekuasaan dan harta dalam pembahasan mukjizat dan karamah (bab khariqul adah). Allah SWT menyebutkan ilmu dengan istilah sulthan dalam surat Al-Mu’min (40) ayat 35.
Banyak sekali keutamaan ilmu dan ahli ilmu yang disebutkan dalam Al-Qur’an, Al-Hadith, dan Qawl Salafus Shalih. Secara syar’i, maka ilmu yang dipuji dan memiliki keutamaan adalah ilmu tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Akan tetai terkait dengan persoalan tathbiq (penerapan), maka termasuk dalam ilmu disini adalah ma’rifatul mad’u, ma’rifatul insan, dan ma’rifatul waqi.
Sedangkan bersifat wara’ (menjaga diri dari dosa) merupakan perkara yang penting bagi da’i, karena merupakan pengantar kepada kebijaksanaan dan zuhud. Untuk memahami wara’, ada baiknya kita merenungi sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Bukhari dan termasuk dalam Arbain Nawawiyah.
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
[رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Bagaimana mungkin seorang da’i penegak amar ma’ruf nahi munkar tidak wara’, sedangkan ia mengajak manusia kepada kebajikan dan mencegah mereka dari perbuatan dosa? Tentu saja sangat janggal dan riskan sekali, kalau tidak bisa dibilang mustahil.
Kasih Sayang, Sabar dan Pemaaf
Metode yang ditempuh oleh para Nabi dalam memulai dakwahnya adalah dengan kasih sayang, kelembutan dan hikmah. Metode seperti ini membuat obyek dakwah (mad’u) merasa disayang dan dibimbing menuju kebaikan, sehingga dengan sendirinya membuka diri untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Allah –subhanahu wata’ala- berfirman “Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,” [QS. 2: 83]
Dalam mengemban amar ma’ruf nahi munkar, para da’i harus selalu memakai kata-kata terbaik dan menyejukan yang sesuai dengan obyek dakwahnya. Para da’i juga harus bersikap lembut sebagaimana yang digambarkan dalam surat Ali-‘Imran ayat 159: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
Sayyid Qutb berkata terkait dengan hal ini: “Manusia membutuhkan aktivitas dakwah yang bernuansa cinta, kasih sayang, memberikan bimbingan dan santun. Juga diperlukan kesabaran yang prima terhadap sikap dan respon balik dari umat. Maka dibutuhkan da’i berhati lapang yang mengayomi kegelisahan dan mendengar keluh-kesah sampai kiranya umat manusia merasakan bahwa para da’i begitu dekat di hati; membimibing, mengarahkan dan melindungi mereka.”
Ketika berdakwah (amar ma’ruf nahi munkar), seorang da’i tidak boleh terpengaruh oleh respon negatif dari masyarakat yang diakibatkan ketidaktahuan mereka atas kebenaran dan kebaikan. Tidak semua anggota masyarakat itu pintar dan berperangai bagus. Oleh karena itu, Allah –subhanahu wata’ala- berfirman: “Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah manusia mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” [QS. 7: 199]
Memperhatikan Mad’u dan Bersikap Lembut
Maksud dari memperhatikan obyek dakwah (mad’u) adalah mengenali sisi kemanusiaannya dengan baik. Mengetahui karakter dan sifat khususnya. Serta pandai menyentuh hatinya. Sebab dakwah amar ma’ruf nahi munkar bertujuan untuk membawa seseorang keluar dari kemungkaran dan membawanya kepada kebaikan. Dakwah ini bukan bertujuan untuk memarahi atau menelanjangi aib. Dakwah ini bukan sekedar menyampaikan, sebagai pelepas kewajiban.
Oleh karena itu, penting bagi da’i yang sedang melakukan dakwah ini untuk bersikap lembut dan santun. Dan ini adalah urusan hati yang tidak bisa diterka oleh oranglain. Hati hanya bisa disentuh oleh hati. Maka, sejauhmana kita bisa menyentuh hati mad’u adalah sejalan dengan kepekaan dan sensitifitas hati kita. Saat ini, kita dituntut untuk jujur dan mampu untuk menghisab diri sendiri terlebih dahulu.
Seorang yang ber-amar ma’ruf nahi munkar hendaknya mempunyai sifat lemah lembut dan penyantun (rifq), sebab segala sesuatu yang disertai lemah lembut akan bertambah indah dan baik, dan sebaliknya jika kekerasan menyertai sesuatu maka akan menjadi jelek, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam:
“Sesungguhnya tidaklah lemah lembut (rifq) ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut (hilang) dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek.” (HR. Muslim)
Imam Sufyan Ats Tsauriy pernah berkata, “Tidak ber-amar ma’ruf nahi munkar kecuali orang yang memiliki tiga sifat: rifq, adil dan berilmu dalam mengajak dan mencegah“  (Ibnu Rajab, Jami’ Ulum Wal Hikam, 2).
Itulah beberapa aspek dari seni ber-nahi munkar. Semoga kita termasuk orang yang bisa memperbaiki dari dan umat ini. [Majalah Tabligh edisi Sya'ban - Ramadhan 1433]
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Seni Nahi Munkar yang Terabaikan Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu