Oleh: Mustafa A. Tohan
Pengajar di Universitas Sintuwu Maroso (Unsimar) Poso
Dalam bahasa Arab disebutkan bahwa berburu itu adalah “as-said”, bentuk masdarnya “sada” yang berarti mengambil atau menangkap. Dalam artian menangkap binatang liar yang notabenenya tidak ada pemiliknya dan bukan dalam proses jual beli. Para ulama fikih bersepakat bahwa hukum berburu hewan itu mubah (boleh) dilakukan oleh semua orang yang ingin melakukanya, namun akan diharamkan bilamana orang yang ingin berburu pada saat melakukan ibadah haji atau umrah. Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran surah Al-Ma'idah ayat 2 yang menjelaskan bahwa seseorang yang telah selesai menunaikan ibadah haji atau umrah boleh berburu. Kalimat perintah ‘istadu’, yang berarti “berburulah” dikemukakan setelah adanya larangan berburu ketika seseorang sedang menunaikan ibadah haji dalam Surah Al-Ma'idah ayat 1.
Ulama Mazhab Maliki merinci hukum berburu menurut motivasi pemburunya. Berburu hukumnya mubah, jika dagingnya digunakan untuk konsumsi; hukumnya sunnah, jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga; hukumnya wajib, jika digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dalam keadaan darurat; makruh jika hanya bertujuan untuk main-main; dan menjadi haram jika bertujuan untuk menganiaya binatang.
Berburu Dengan Anjing
Ulama Mazhab Syafi'i mengemukakan bahwa apabila hewan hasil buruan sempat tergigit oleh anjing hukumnya haram dan wajib dibersihkan dengan cara dibersihkan sebanyak 7 kali dan satu di antaranya dengan menggunakan air yang bercampur tanah, barulah hewan tersebut hukumnya halal ataupun suci. Sedangkan menurut Ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali, mengemukakan bahwa bekas gigitan anjing pemburu itu hukumnya halal dan tidak wajib dibersihkan. Namun juga ada garis besarnya bahwa hewan buruan tersebut halal untuk dimakan, di antaranya hewan pemburu (anjing, kucing, elang, harimau ataupun singa) harus memenuhi syarat berburu di antaranya; hewan pemburu wajib dalam keadaan terlatih, dalam artian hewan pemburu sudah meninggalkan watak asalnya dan dapat digunakan sebagai alat, serta bukan berburu untuk dirinya sendiri.
Di mata ulama mazhab Hanafi, terlatih berarti bahwa binatang itu mau mematuhi perintah tuannya. Adapun ulama mazhab Syafi'i dan mazhab Hanbali mengemukakan tiga macam tanda terlatihnya binatang pemburu, yaitu: jika dilepas oleh tuannya, hewan itu langsung mengejar sasaran yang diperintahkan; jika dilarang, dia berhenti; dan jika menangkap binatang buruannya, dia tidak mau memakannya.
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Bukhari, dan Muslim dari Adi Ibnu Abu Hatim menegaskan larangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memakan daging sisa binatang buruan yang dimakan oleh binatang pemburunya. Tanda-tanda ini harus dapat dibuktikan berulang kali, sehingga binatang itu benar-benar dipandang sebagai binatang terlatih. Sedangkan ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa daging sisa itu boleh dimakan berdasarkan pengertian umum dari Surah Al-Ma'idah ayat 4. Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar