Oleh: Ibnu Wazir
Pada tahun 1960-an, setahun sebelum berlangsungnya muktamar, murid-murid sekolah Muhammadiyah sudah merasa memiliki Muhammadiyah. Mereka melihat poster muktamar sudah dipasang di mana-mana, termasuk di dinding sekolah mereka. Dengan gembira mereka menyanyikan lagu Mars Muktamar yang menerbitkan semangat berjuang. Di setiap upacara bendera, dan hampir setiap pagi mereka menyanyikan Mars Muktamar yang diciptakan berdasar hasil lomba. Poster karya pemenang lomba pun mereka amati dengan penuh perhatian.
Di saat genting, murid-murid Muhammadiyah pun makin merasa memiliki Muhammadiyah. Mereka berlatih Tapak Suci dan bangga melihat senior atau pelatihnya punya sisi telapak tangan kuat bisa menghancurkan tumpukan bata merah. Dan ketika pawai, anak-anak SD ini dengan bangga mengenakan seragam Tapak Suci, merah, tidak mengenal takut. Padahal orangtua mereka saja berdebar-debar dan kadang cemas melihat perkembangan politik yang tidak jelas dan cenderung menekan umat Islam. Untung waktu itu Bung Karno yang memang pernah aktif di Muhammadiyah berani meneriakkan slogan, “Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah.” Slogan ini bergema ke seluruh Tanah Air, menggerakkan gelombang kebanggaan dan kepercayaan diri semua aktivis dan simpatisan Muhammadiyah.
Pada zaman itu, orang-orang miskin juga merasa memiliki Muhammadiyah. Ada yang memiliki Muhammadiyah karena punya anak lelaki banyak dan si bungsu baru saja mengikuti khitanan massal. Gratis dan pulang dapat baju, sarung, peci, uang, ikut arakarakan meriah keliling kota. Mereka tergembirakan dengan hadirnya Muhammadiyah. Tentu orang miskin yang memang benarbenar kurang mampu seperti ini berharap agar anak-anaknya, adik si bungsu, nantinya juga dapat diikutkan dalam khitanan massal. Dan ketika sakit, mereka juga bisa berharap pada Muhammadiyah karena zaman itu berobat di Balai Pengobatan Muhammadiyah cukup murah biayanya. Kadang malah ada pengobatan gratis.
Pada saat yang sama, pengajian-pengajian Muhammadiyah yang diikuti masyarakat bawah di kampung-kampung dan desa suasananya teduh dan segar. Orang datang ke pengajian dengan kepala pening karena memikirkan hutang dan harga barang kebutuhan yang makin mahal, mereka pulang penuh optimisme atas hidup. Para muballighnya betul-betul bisa melakukan siraman ruhani. Tidak pernah muballighnya menjelek-jelekkan orang lain, memanas-manasi dan menuduh-nuduh pihak lain. Juga tidak pernah menyindir-nyindir secara kasar pada orang yang masih malas shalat misalnya. Dengan muballigh yang telah mengendap jiwanya dan telah mampu mengolah kearifan sikapnya seperti itu
maka umat pun dengan suka rela mengikuti anjuran sang Muballigh. Mereka pun makin merasa memiliki Muhammadiyah.
Bukan hanya orang miskin yang merasa memiliki Muhammadiyah. Orang-orang kaya pun merasa memiliki Muhammadiyah. Sebab Muhammadiyah dapat dijadikan medan amal. Setiap Muhammadiyah memanggil, mereka dengan segera mau memberikan sumbangan harta bendanya, tanpa disuruh lagi. Mereka percaya kepada keihlasan dan kejujuran, keluguan para pengurus Muhammadiyah. Dan sering tanpa diminta para orang kaya pun mewakafkan tanah-tanahnya kepada Muhammadiyah. Maka tak mengherankan jika pada basis-basis Muhammadiyah dengan mudah tumbuh sekolah, rumah sakit, masjid, musholla dan sebagainya. Dan makin mereka mendermakan harta untuk Muhammadiyah,
makin bertambah pula harta mereka, karena mereka makin bersemangat ketika berniaga dan ketika melakukan usaha.
Orang-orang pintar dalam masyarakat juga banyak yang merasa memiliki Muhammadiyah. Di samping karena ada yang pernah merasakan menjadi anak didik Muhammadiyah, juga karena mereka setuju dengan semangat Islam berkemajuan dan Islam moderat yang diperjuangkan Muhammadiyah. Mereka juga merasa dihargai ketika berada di Muhammadiyah. Dan ketika orang pintar pun ada dan banyak menjadi pejabat maka mereka tetap merasa memiliki Muhammadiyah. Sebab dalam berdakwah, orang Muhammadiyah tidak pernah menyakiti hati, terkenal santun dan cerdas dalam memilih kata-kata bernas.
Itulah sepenggal kisah sukses Muhammadiyah merebut hati orang miskin, orang kaya dan orang pintar di negeri ini. Semua sama-sama mendapat tempat, terayomi, dan mereka tidak menemukan ada pemimpin yang mau memonopoli Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah milik semua anggota, simpatisan, masyarakat bahkan bangsa Indonesia. Tidak ada kelompok elite yang memonopoli Muhammadiyah, memaksakan tafsir tunggal atas perjuangan Muhammadiyah dan tidak saling melempar api kata-kata hanya karena ingin berebut kedudukan.
Sekarang, di pelosok-pelosok, seperti di pelosok Kulon Progo, di sekitar tanah kelahiran Pak AR Fakhruddin masih banyak masyarakat bawah yang merasa memiliki Muhammadiyah seutuhnya. Mereka tidak perlu berteriak; ”Kembalikan Muhammadiyah kepadaku!” Sebab Muhammadiyah memang masih berada dalam diri mereka dan menjadi milik mereka. Hanya saja, orangorang miskin di kota, termasuk orang kaya yang menjadi miskin karena dimiskinkan oleh negara yang akhir-akhir ini, sepertinya kurang mendapat perhatian dari Muhammadiyah, kalau berani, akan berteriak, “Kembalikan Muhammadiyah kepadaku!”
Masalahnya, bagaimana mengembalikan Muhammadiyah kepada mereka?
*) Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi 18 / 95 | 16 - 30 September 2010
0 komentar:
Posting Komentar