728x90 AdSpace

Latest News
Jumat, 03 April 2015

Menalar Logika Syiah



Oleh: Muhammad Rifqi Arriza

Tulisan ini adalah resume dari seminar tentang “Syiah dan Problematika Takfir”, yang diampu oleh Syekh Toha Hubaisyi, dosen senior jurusan filsafat dan akidah Islam Univ. al-Azhar. Di samping ingin menyumbang cara pandang terhadap sekte Syiah, tulisan ini juga dibuat untuk menjaga warisan ilmu yang diberikan oleh Syekh Toha. Karena sering kali, buku catatan kita hilang, tak terhiraukan, karena perhatian kita terkuras oleh gadget-gadget canggih dengan segudang fiturnya.
Pada beberapa titik, saya juga akan menukil pendapat Dr. Imarah dalam konteks ini. Dari buku beliau “Haqaiq wa Syubuhat hawla al-Sunnah wa al-Syiah”, atau hasil pertemuan secara langsung beberapa waktu kemarin. Dan tentunya, akan ada satu-dua analisa dari saya pribadi juga perluasan makna dari apa yg telah disampaikan Syekh Toha.
Tulisan ini tidak diharapkan menjadi alasan memutus silaturahim dengan teman sejawat penganut Syiah, atau bahkan mengeluarkan mereka dari Islam (kecuali bagi yang telah menuhankan Imam Ali radhiallahu'anhu). Di luar semua perbedaan, kita masih sama-sama muslim. Bertuhankan Allah, mengakui kenabian Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Jika terpaksa jengah dengan pandangan agama mereka, hendaknya kita tetap menjaga ukhuwah, setidaknya sebagai manusia. 
Semoga tulisan ini dapat menambal celah pengetahuan kita semua dalam “menalar logika Syiah”. 


Hanya Karena Politik!
Setelah menjelaskan bahwa perpecahan umat termasuk takdir dan kehendak Allah dengan segala hikmah yang terkandung di dalamnya, kita ketahui maupun tidak (al-Nahl: 93), Syekh Toha menekankan bahwa mahasiswa Azhar harus menyikapi segala sesuatu dengan “gaya Azhar”, yaitu secara ilmiah. Tidak hanya ikut-ikutan, atau suka dan benci secara membabi buta.
Syekh Toha membuka pembicaraan tentang Syiah dengan menegaskan bahwa Khawarij dan Syiah muncul karena politik an sich! Tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Yaitu pasca negosiasi antara sahabat Abu Musa al-Asyari dan Amru bin Ash, radhiyallahu ‘anhum.
Hal ini beliau tegaskan berkali-kali selama seminar. Syekh Toha menjelaskan; titik tolak pandangan agama sekte Syiah adalah kepentingan politik, yaitu al-imamah. Adapun pandangan-pandangan keagamaan mereka dalam beberapa hal, semuanya lahir untuk menguatkan argumen mereka di atas.


Skema Logika Beragama Syiah

Al-imamah  =>  ‘ishmatul aimmah   =>  al-bida’  =>  takfir al-shahabah  =>  ‘adama shihhati al-sunnah al-nabawiyah

1# al-Imamah
Syekh Toha menerangkan, bahwa Syiah meyakini bahwa imam Ali telah dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. sebagai khalifah Nabi setelah wafat. Hal ini dikuatkan dengan beberapa nas yang tersurat (jelas) maupun tersirat.
Hal ini beliau bantah, karena klaim “telah dipilih Allah Subhanahu wa Ta’ala” mengartikan bahwa hal itu bersifat wahyu, taken for granted. Jika sudah wahyu dari Allah, tidak mungkin para sahabat melakukan musyawarah di Saqifah Bani Saidah, dan bahkan imam Ali dan Zubair bin Awwam juga membaiat Abu Bakar, sang khalifah terpilih.
Syekh Toha mengangkat riwayat Ibnu Khuzaimah yang dinukil Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah tentang baiat dua ahli bait Nabi ini. Syekh Toha menceritakan, bahwa setelah proses pemakaman Nabi selesai, Zubair bin Awwam –sepupu Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dari bibi beliau; Shafiyyah- dipanggil ke masjid oleh Abu Bakar yang saat itu telah dipilih sebagai khalifah. Sesampai di masjid, khalifah bertanya; wahai Zubair, apakah engkau tidak membaiatku sehingga umat akan berpecah belah? (perhatikan bobot pertanyaan Abu Bakar) Zubair menjawab; bukannya aku tidak mau, tapi aku belum ditanya –dimintai pendapat-! (cara pandang syura) Baiklah, sekarang aku baiat kepadamu!
Setelah itu, Abu Bakar juga memanggil Ali. Dan terjadilah perbincangan yang kurang lebih sama dengan tanya jawab antara Abu Bakar dan Zubair di atas.
Jika memang Ali telah dipilih Allah sebagai khalifah, tentu Ali tidak akan mau mengakui kepemimpinan Abu Bakar. Karena hal itu berarti mengingkari wahyu. Fa taammal!

2# Ishmatul Aimmah
Terjemah bebasnya; kemaksuman para imam mereka, tidak mungkin berlaku salah. Pandangan ini tidak lain adalah penopang pandangan Syiah sebelumnya, al-imamah. Bahwa jika imamah memang “turun dari langit”, maka ia wajib dilaksanakan. Tapi bagaimana jika sang Imam Pilihan Langit salah berijtihad? Masalah dunia maupun agama. Oleh karena itu, kaum Syiah membuat “terobosan baru” dalam agama untuk mensiasati hal ini. bahwa para imam itu maksum, tidak mungkin melakukan kesalahan dalam keputusan maupun tindakan.
Pada masa sekarang, mungkin dapat kita lihat pada fenomena wilayatul faqih mereka. Bahwa seorang faqih yang mempunyai otoritas tertinggi itu adalah ‘perwakilan’ Imam Mahdi yang kedatangannya selalu ditunggu. Walhasil, semua perintahnya harus ditelan mentah-mentah, segala keputusannya harus dilaksanakan tanpa kritikan.

3# al-Bida’
Yaitu meyakini bahwa Allah sebelumnya tidak mengetahui suatu hal, baru tahu di kemudian waktu. Istilah kerennya; al-zuhur ba’da al-khafa’ dan al-‘ilmu ba’da al-jahli.
Maksudnya? Pandangan agama seperti ini diambil oleh Syiah untuk membenarkan kesalahan-kesalahan yg mungkin muncul dari para imam mereka. Walaupun sebelumnya mereka sudah menanamkan kaidah kemaksuman bagi para imam. Tapi tentu, sebagai manusia biasa, para imam tersebut tidak akan luput dari kesalahan, secara logika maupun agama. Inilah yang ingin ditanggulangi oleh Syiah.

4# Takfir al-Shahabah
Mengkafirkan para sahabat. Hal ini ditempuh, jika ada perbedaan pendapat antara para imam mereka dan sahabat. Menariknya, menurut Dr. Imarah, dari 124 ribu sahabat, hanya 4, 5 orang atau lebih yang selamat dari pengkafiran, cela, tuduhan munafik dan sebagainya.

5# ‘Adamu Shihhati al-Sunnah al-Nabawiyah
Jika para sahabat Nabi (kecuali beberapa) tidak ada yang selamat dari takfir dan tuduhan kerendahan akhlak, tentu anda tahu efek tidak langsungnya kepada sunah bukan? Karena hadis  adalah seluruh perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi, yang diriwayatkan dari generasi ke generasi, dari zaman sahabat hingga zaman para imam ahli hadis yang menuliskannya dalam buku (kutub al-sunnah).
Jika para perawi dari sahabatnya tidak ada yg lulus fit and proper test sebagai rawi yg diterima, tentu seluruh hadis dari mereka akan tertolak kevalidannya, tidak diakui keotentikannya. Konsekwensinya, mayoritas aturan agama kita tidak otentik, dan harus dirombak ulang.
Konsep-konsep akidah, hukum-hukum fikih, dan tuntunan akhlak. Khususnya fikih, konsekwensi dari dua konsep terakhir Syiah di atas adalah aturan ibadah kita selama ini salah total. Kaidah muamalah kita harus dibuat ulang. Apalagi hudud dan jinayah.
Trus, kaum Syiah mengambil konsep akidah dan hukum fikih dari siapa? Syekh Toha memaparkan, bahwa hampir dalam seluruh konsep akidah, Syiah mengambil dari Muktazilah. Tidak percaya? Anda bisa buktikan sendiri. Bahkan Dr. Imarah mengisahkan dalam bukunya, bahwa Desertasi beliau berbicara tentang keterkaitan akidah Syiah dan Muktazilah. Sayangnya, saya lupa dalam tema apa.
Adapun dalam fikih, Syiah murni mengambil dari pendapat para imam mereka. Dalam hal ini, banyak yang dapat kita tolerir. Bahkan ulama kita mengakui keabsahan mazhab fikih Jakfariah (nisbah kepada imam Jakfar al-Shadiq) dan mazhab fikih Zaidiyah. Tentunya ada beberapa hal tertentu yg juga tidak bisa ditolerir, seperti fikih mereka dalam konteks nikah mut’ah.


Menyoal “Taqrib Baina al-Sunnah wa al-Syiah”
Pada seminar yang lalu, syekh Toha memang tidak banyak membahas kemungkinan pendekatan antara Sunni dan Syiah. Saya dapatkan beberapa pandangan mengenai hal ini dari Dr. Imarah, yg menurut saya patut kita renungkan, atau jika perlu didiskusikan kembali.
Menurut Dr. Imarah, satu-satunya jalan untuk mendekatkan kembali antara dua kubu besar umat Islam ini adalah menghilangkan terma takfir dari kedua belah pihak. Syiah hendaknya melihat kembali pandangan mereka dalam hal ini, dan selanjutnya dapat “memutihkan” buku-buku rujukan asasi mereka yang dengan vulgar mengkafirkan banyak sahabat.
Sebaliknya, dari pihak Sunni, diakui atau tidak, ada satu kelompok yang berlebih-lebihan dalam menyikapi keberadaan Syiah. Sehingga dengan enteng mengatakan; Syiah bukan Islam. Padahal jika mau menulusuri (sejauh pembacaan saya), tidak ada ulama mutaqaddimin yang dengen tegas menyatakan bahwa Syiah adalah kafir, di luar Islam. Paling maksimal, mereka menyatakan bahwa Syiah itu sesat, dengan argumen-argumen kuat yang menyertainya.
Tapi ada yg unik jika melihat perjalanan proyek PDKT antara Sunni-Syiah ini. Menurut penuturan Dr. Imarah, walaupun syekh Syaltout dan mayoritas ulama Sunni menegaskan bolehnya beribadah menggunakan mazhab jakfari, tidak ada satu pun statemen atau praktik dari Syiah untuk menegaskan keabsahan ibadah menggunakan mazhab imam empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali).
Memang ada satu-dua manuver dari Syiah yang patut kita apresiasi, seperti risalah Amman tahun 2006 dan fatwa Ayatullah Khamaeni untuk tidak menghina sayyidah Aisyah ra. Khusus tentang fatwa Khamaeni, ada satu video saat syekh Ahmad Tayyib (Grand Syekh Azhar) ditanya komentarnya tentang hal ini, beliau menjawab datar. Saya seperti menangkap kekhawatiran praktik taqiyah dari beliau.
Memang, banyak ulama yang mengaku “kapok” dalam mensukseskan proyek taqrib ini. Contoh kongkritnya adalah Syekh Qaradawi. Dr. Imarah juga mengaku sempat dekat dengan Iran dan beberapa ulama Syiah, tapi setelah mereka tahu sikap beliau, akhirnya beliau dijauhi dan tidak mendapatkan simpati lagi.


Jadi, Solusinya?
Ada satu solusi yang ditulis oleh Dr. Imarah dalam bukunya tentang hubungan Sunni-Syiah ini. Solusi ini saya amini, dan menurut saya memang win-win sollution. Yaitu hendaknya kaum Sunni tidak menyebarkan pahamnya di tengah komunitas mayoritas Syiah (Iran misalnya), dan juga kaum Syiah tidak menyebarkan pahamnya di tengah komunitas mayoritas Sunni (mayoritas negara Islam). Wallahu A’lam bi al-Shawab. [pcimmesir]
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Menalar Logika Syiah Rating: 5 Reviewed By: Admin 1 TablighMu